0251- 8622642 ex 105 ppid@apps.ipb.ac.id

Prof Rilus A Kinseng Respon Capaian GTRA Summit 2022

Prof Rilus A Kinseng Respon Capaian GTRA Summit 2022

Artikel / Press release

Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022 telah dilangsungkan di Wakatobi, 8-10 Juni lalu. Kegiatan ini dijadikan sebagai momen kolaborasi lintas sektor untuk menyelesaikan masalah pertanahan dan reforma agraria di Indonesia. Kegiatan ini turut menyinggung perlindungan masyarakat adat, termasuk pemetaan wilayah adat dan percepatan sertifikasi lahan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

GTRA Summit 2022 yang dihadiri langsung oleh Presiden Joko Widodo ini turut mengundang respon berbagai pihak. Prof Rilus A Kinseng, Guru Besar IPB University dari Fakultas Ekologi Manusia mengatakan bahwa pengelolaan laut Indonesia yang mencakup pengaturan aspek territorial dan aspek pemanfaatannya diatur kuat oleh perundang-undangan.

Ia mengatakan, disinggung dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2014, dikenal istilah ‘pemangku kepentingan utama’ sebagai pengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Kelompok masyarakat merupakan salah satu pemangku kepentingan utama ini. Kelompok masyarakat ini adalah masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional dan masyarakat lokal.

Menurutnya, dalam rezim pengelolaan sumber daya laut sekarang, posisi masyarakat adat cukup kuat. Terutama sepanjang sistem adatnya masih berlaku, seperti masyarakat adat di Maluku dan Papua dengan system  “Masyarakat hukum adat memiliki pranata pemerintahan adat yang cukup kuat dan hal ini dapat menjadi tantangan tersendiri. Terlebih dengan adanya pemerintahan resmi, menyebabkan sistem adat semakin memudar,” terangnya dalam Webinar Nasional “Capaian GTRA Summit 2022 dan Posisi Masyarakat Adat di Pesisir dan Laut” yang digelar oleh Econusa.id, (21/06).

Menurutnya, praktik perikanan yang dilakukan oleh masyarakat perikanan tradisional juga perlu diakui hak tradisionalnya sehingga kegiatannya dapat dianggap sah. Di sisi lain, masyarakat lokal merupakan kelompok yang paling lemah karena tidak memiliki hak eksplisit atas wilayah perairan tertentu.

“Akibatnya, kelompok ini sering tergusur oleh adanya kegiatan yang lain seperti reklamasi pantai hingga penetapan kawasan konservasi. Padahal, masyarakat lokal ini justru merupakan kelompok mayoritas di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,” imbuhnya.  Implikasi dari rezim pengelolaan ini, tambahnya, menyebabkan masyarakat adat, terutama lokal cukup rentan. Mereka mudah tergusur dari wilayah laut yang merupakan sumber mata pencahariannya. Hal ini yang memicu terjadinya konflik-konflik sosial.

Menurutnya, masyarakat adat sebenarnya sudah dapat dikatakan sebagai ‘pemilik’ dalam skala lingkup kecil karena diberikan hak otonomi atas wilayah adatnya. Namun masih perlu pemberian izin kepada kelompok masyarakat ini untuk memperkuat hak mereka.  “Izin ini diberikan kepada kolektivitas di dalam wilayah teritorial kekuasaan mereka untuk mengelola. Paling tidak, status masyarakat ini mestinya minimal adalah proprietor, artinya mereka bisa melakukan eksklusi atau melarang orang luar untuk melakukan kegiatan penangkapan atau usaha di wilayah mereka,” kata Prof Rilus.

Ia menambahkan bahwa izin pemukiman bagi masyarakat adat yang sudah turun temurun dan sangat terbatas jaraknya harus memiliki diskresi dan aksi afirmatif. “Masyarakat harus berjuang untuk mengubah undang-undang dan diberikan hak milik untuk pemukimannya. Masyarakat adat yang sudah turun temurun ini memiliki hak atas kepemilikan pemukiman yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya, “ jelasnya. (MW/Zul)

Sumber :https://www.ipb.ac.id/news/index/2022/06/prof-rilus-a-kinseng-respon-capaian-gtra-summit-2022/6f2b1e003593cc8c1b268be0fa3754c2

× Butuh bantuan?
Skip to content