0251- 8622642 ex 105 ppid@apps.ipb.ac.id

Prof Hefni Effendi Ulas Keruntuhan Ekologi dan Biodiversity Offset pada Seminar Memperingati 50 Tahun Konferensi Stockholm

Prof Hefni Effendi Ulas Keruntuhan Ekologi dan Biodiversity Offset pada Seminar Memperingati 50 Tahun Konferensi Stockholm

Artikel / Press release

Prof Hefni Effendi, Guru Besar IPB University pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan – Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) memaparkan aspek ekologi dan biodiversity pada Seminar Memperingati 50 Tahun Konferensi Stockholm, (1/7). Pada kegiatan yang digelar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini, Prof Hefni mengulas tentang keruntuhan ekologi dan kehilangan biodiversity.

Prof Hefni, yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB University (2013-2021) memaparkan tentang bagaimana suatu sistem ekologi mengalami homeostasi (kesetimbangan).  “Homeostasi yang terganggu akan kembali ke posisi semula, jika intensitas gangguan masih pada tingkatan yang masih bisa ditoleransi. Bandul kesetimbangan ekologi yang terusik akan kembali ke titik keseimbangannya secara alamiah. Inilah yang diistilahkan dengan kelentingan ekologi (resiliensi),” jelasnya.

Namun, lanjutnya, tatkala intensitas gangguan meningkat melebihi kemampuan, ekologi melakukan pulih diri secara alamiah. Karena telah terlampauinya daya dukung dan daya tampung lingkungan, maka ekologi akan bereaksi dengan meresponnya berupa ketidakmampuan pulih alami.  Atau berupa kerusakan terhadap sistem ekologi, bahkan sistem ekologi bisa mengamuk melahirkan bencana ekologi (ecological disaster).

“Gangguan ekologi yang terjadi secara intensif dan masif, bisa berupa masuknya eksternalitas yang berlebihan ke sistem ekologi atau over eksploitasi sumberdaya alam oleh aktivitas antropogenik yang rakus. Ecological disaster yang tak terkendali bisa berujung pada keruntuhan ekologi (ecological collapse). Indikasi keruntuhan ekologi ini sudah banyak terjadi di seantero dunia ini,” ujar Ketua Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) Indonesia periode 2014-2016 ini.

Selain itu, Prof Hefni juga mengulas tentang konsep Biodiversity Offset, yang seyogyanya diterapkan jika suatu pembangunan merambah pada ekosistem yang tingkat biodiversitasnya tinggi. “Biodiversity Offset adalah pilihan terakhir dari pengelolaan keanekaragaman hayati, setelah konsep hierarki pengelolaan lingkungan telah ditempuh dan diterapkan dalam penilaian biodiversity.  Hierarki pengelolaan tersebut mencakup penghindaran, pengurangan, mitigasi/rehabilitasi/restorasi dan kompensasi berbasis pada biodiversity offset,” ujar anggota Technical Assistance 1(TA) World Bank untuk lingkungan Indonesia ini.

Menurutnya, keruntuhan ekologi dan kehilangan biodiversity ini selaras dengan kekhawatiran Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres tentang bumi yang saat ini menghadapi triple planetary crisis. Yakni darurat iklim, peningkatan kehilangan keanekaragaman hayati serta peningkatan polusi dan limbah,” ujarnya.

Pada konferensi Stockholm +50, katanya, Guterres menghimbau para pemimpin dunia agar berupaya dengan sungguh-sungguh menyelamatkan manusia dari krisis lingkungan. Hal ini karena planet bumi hanya ada satu (only one earth) dan satu-satunya planet yang dapat dihuni manusia sekarang ini.

Prof Hefni menjelaskan, Deklarasi Stockholm yang dihadiri 113 negara pada tahun 1972 merupakan inisiasi dialog pertama antara kelompok negara industri dan negara berkembang. Saat itu bahasannya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, pengendalian pencemaran dan kelangsungan hidup manusia di jagat bumi ini.  “Pada deklarasi ini ditekankan tentang pentingnya setiap negara merancang konsep pembangunan integratif, mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi pada pembangunan dalam rangka mereduksi pencemaran udara, tanah dan air serta pengurangan dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan,” imbuhnya.

Menurutnya, Hari Lingkungan Hidup yang diperingati setiap 5 Juni dan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Programme, UNEP) terbentuk sebagai hasil dari Konferensi Stockholm (1972). Demikian pula halnya rencana aksi lingkungan yang meliputi perencanaan permukiman, pengelolaan sumberdaya alam, pengendalian pencemaran, pendidikan kesadaran lingkungan, dan informasi lingkungan.
“Semua program itu menjadi menjadi output dari konferensi ini. Di Indonesia pun, lahirnya Kementerian Lingkungan Hidup merupakan tindak lanjut dari Konferensi Stockholm,” tutur pakar lingkungan IPB University ini. (HEF/Zul)

Sumber : https://www.ipb.ac.id/news/index/2022/07/prof-hefni-effendi-ulas-keruntuhan-ekologi-dan-biodiversity-offset-pada-seminar-memperingati-50-tahun-konferensi-stockholm/be0ce9ec74af5552a4ac9aa72c57df14

× Butuh bantuan?
Skip to content