Jumlah Kasus Pernikahan Anak di Indonesia Duduki Posisi 7 Dunia, Mirip Afrika dan Amerika Latin
Menurut Dr Yulina Eva Riany, MEd, Dosen IPB University dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (Fema), Indonesia saat ini berada di urutan ke-7 tertinggi di dunia sebagai negara dengan jumlah kasus pernikahan anak. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dengan beberapa negara di Afrika dan Latin Amerika.
Hal ini disampaikannya dalam seminar “Pernikahan Anak dan Beragam Risikonya” yang digelar Komunitas Stop Pernikahan Anak (Kosperan) dan didukung oleh Australia Awards Indonesia, (5/3). Peserta seminar berasal dari aktivis remaja dan karang taruna serta kader dari wilayah Kecamatan Cibungbulang dan Leuwisadeng, Bogor.
Menurut awardee Australia Alumni Grant Scheme 2021 ini, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab tingginya angka pernikahan anak. Terutama di daerah Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah aktual pernikahan anak terbesar di Indonesia.
“Beberapa faktor penyebab tingginya pernikahan anak di antaranya tingkat pendidikan yang rendah, status sosial ekonomi yang rendah dan kurangnya informasi terkait dengan risiko pernikahan anak. Media sosial juga menjadi faktor pemicu, selain faktor budaya yang mempersepsikan bahwa menikah sedini mungkin dapat meringankan beban orang tua dan menjadi kebanggaan keluarga. Terutama jika anak perempuan dapat menikah dengan pria kaya,” jelasnya.
Dr Eva menekankan bahwa menikahkan anak dengan usia di bawah 19 tahun adalah sebuah pelanggaran hukum. Karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Saya mengajak seluruh pengurus dan anggota karang taruna maupun kader yang memiliki kedekatan secara sosial budaya dengan remaja di wilayah Kecamatan Dramaga, Cibungbulang dan Leuwisadeng untuk semakin giat menyuarakan stop pernikahan anak, baik kepada remaja maupun kepada orang tua mereka,” ujarnya.
Menurutnya, hal ini sangat penting karena pernikahan anak dapat menyebabkan beragam risiko yang membahayakan. Dari aspek kesehatan, ada risiko seperti reproduksi, kehamilan bermasalah, risiko kematian ibu dan anak, risiko melahirkan anak dengan masalah prematur, stunting, atau disabilitas.
“Ada risiko munculnya permasalahan psikologi atau mental bahkan risiko sebagai korban kekerasan. Selain itu, pernikahan anak bukan sebagai suatu solusi keluar dari permasalahan kemiskinan. Justru pernikahan anak dapat menghasilkan masalah sosial ekonomi baru di masyarakat yang harus segera diatasi bersama,” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa Ciherang, Edy, membenarkan bahwa di wilayah kerjanya masih banyak kasus pernikahan anak yang harus mendapat perhatian bersama.
Kader Karang Taruna dari Desa Purwasari, Babakan, dan Ciherang pun menuturkan bahwa mereka harus bekerja keras untuk mengajak rekan-rekan remaja untuk menangguhkan proses pernikahan mereka yang masih berusia di bawah 19 tahun. (**/Zul)
Sumber : https://ipb.ac.id/news/index/2022/03/jumlah-kasus-pernikahan-anak-di-indonesia-duduki-posisi-7-dunia-mirip-afrika-dan-amerika-latin/5d42a51f095aadc822ac813d6d23d6f4