Guru Besar Akuakultur IPB University Sebut Indonesia Negara Produsen Udang Dunia
Industri budidaya udang merupakan sektor bisnis yang terus mengalami pertumbuhan. Menurut Guru besar Akuakultur IPB University, Prof Sukenda saat menjadi pembicara pada Kuliah Tamu Biomanajemen, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, (6/4), setidaknya dalam rentang waktu 10 tahun (2009 hingga 2019) terjadi pertumbuhan produksi udang vaname sebesar 2,4 persen per tahun.
Prof Sukenda menerangkan ada enam negara teratas produsen udang vaname yaitu India, China, Ekuador, Indonesia, Thailand dan Vietnam.
“Indonesia juga masuk dalam urutan ketiga penyuplai terbesar ke Amerika dengan volume 174.583 metrik ton, setelah India dan Ekuador. Ini merupakan potensi luar biasa bagi Indonesia”, ujarnya.
Menurutnya, produksi udang Indonesia sendiri mencapai 1.053 juta ton pada tahun 2019. Provinsi penghasil udang di Indonesia masih didominasi oleh Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Prof Sukenda menjelaskan alasan berinvestasi pada budidaya udang. Udang merupakan produk utama Indonesia. Marketnya masih sangat potensial untuk dikembangkan.
“Untuk pasar Amerika, Indonesia baru mampu menyuplai 19 persen, untuk Jepang sebesar 16,3 persen, untuk pasar Eropa hanya 1,2 persen, untuk pasar China baru 2 persen. Untuk Eropa biasanya terkendala akibat high standard quality,” jelasnya.
Ia menjelaskan, berdasarkan proyeksi impor udang dunia, menurut negara importir utama terdapat potensi penambahan pasar dunia dengan total 665.812 ton pada tahun 2024.
Komoditas udang juga memiliki harga yang cukup stabil. “Contoh udang dengan ukuran panen size 50, artinya dalam 1 kilogram (kg) terdapat 50 ekor. Pada tahun 2019 harganya berkisar 63 ribu rupiah hingga 76 ribu rupiah per kilogram. Pada Januari hingga Maret 2022 berturut-turut yaitu 68 ribu, 70 ribu dan 75 ribu per kilogram,” ungkapnya.
Menurutnya, udang merupakan komoditas budidaya yang unik. Semakin besar ukurannya maka harganya pun semakin tinggi. Produktivitas budidaya udang harus didukung intensifikasi dan inovasi teknologi.
“Awalnya budidaya udang dilakukan secara tradisional dengan padat tebar rendah dan tambak yang sangat luas 5-30 hektar tanpa aerasi dan pemberian pakan. Saat ini melalui intensifikasi teknologi dengan memperhatikan biosecurity, penggunaan pakan buatan, penggunaan toilet, aerasi, resirkulasi, juga sistem autofeeder dapat meningkatkan produksi hingga 15-40 ton/hektar pada tambak dengan luas 0.2 hingga 0.5 hektar,” ujarnya.
Ia menambahkan, tantangan utama dalam budidaya udang ialah penyakit. Satu penyakit saja jika tidak dicegah, dapat menyebabkan kerugian besar. Akibat serangan penyakit AHPND (Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease) China misalnya merugi hingga 11 milyar USD sementara Thailand hingga 7 milyar USD.
“Serangan satu penyakit saja akan mempengaruhi bobot udang, kelangsungan hidup hingga konversi pakan. Karena itu proses budidaya harus dilakukan dengan prinsip biosecurity yang benar, manajemen air tambak, serta pemilihan benur yang berkualitas yaitu benur SPF (specific pathogen free) ataupun SPR (specific pathogen resistance),” ujarnya.
Ia menambahkan saat ini lebih baik memilih benur yang pertumbuhannya agak lambat namun tahan terhadap serangan penyakit.
Di akhir Prof Sukenda memaparkan tahapan pra produksi budidaya udang meliputi legalitas usaha tambak, pemilihan lokasi, persiapan lahan, air dan benur. Tahapan produksi meliputi manajemen dasar tambak, manajemen pakan hingga dokumentasi dan traceability.
“Selain itu proses panen dan penanganan pascapanen serta aspek sosial dan ekonomi juga harus diperhatikan jika ingin berinvestasi pada bisnis ini,” tandasnya. (IR/Zul)
Sumber : https://ipb.ac.id/news/index/2022/04/guru-besar-akuakultur-ipb-university-sebut-indonesia-negara-produsen-udang-dunia/2a9f17bcc4abbd03c781f26a224835c6