0251- 8622642 ex 105 ppid@apps.ipb.ac.id

Forum Mahasiswa Pascasarjana atau Forum Wacana (FW) IPB menggelar Forum Wacana Discussion (FWD) #8 pada 23/7. Diskusi bertajuk “Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Intrik untuk Menikung Kritik” menganalisis potensi pengesahan RKUHP terhadap kebebasan berpendapat. Narasumber yang dihadirkan yaitu Hersubeno Arief (wartawan senior), Chandra Purna Irawan, SH, MH, (pakar hukum) dan Aab Elkarimi, SPd, MArs (coach content creator).

Dalam paparannya, Hersubeno menyatakan bahwa media menempati posisi krusial. Peran media sebagai watchdoc atau lembaga pengontrol pemerintah. Jika media kerjanya hanya menyanjung-nyanjung pemerintah sebenarnya dia bukan media, tetapi dia adalah humas. Media hendaknya bersikap kritis terhadap penguasa, bukan menjilat yang berkuasa.

“Sekarang ini media kita mengalami kemunduran.  Tadinya media diharapkan menjadi salah satu pilar dalam demokrasi. Akan tetapi, pilar keempat ini sudah dikooptasi dan mengkooptasikan diri pada kekuasaan sehingga pers dan media yang ada tidak independen dan semakin lemah, “ jelasnya.  Dewan Redaksi Forum News Network (FNN) ini menyebut, “Sudah ada Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), ditambah lagi Undang-Undang RKUHP, wah itu kan menjadi sangat rawan posisinya.”

Dalam kesempatan yang sama, Chandra mengatakan, “Saya melihat RKUHP sebagai gejala diktator konstitusional.” Diktator konstitusional menurutnya merupakan tindakan represi terhadap rakyat dengan bersembunyi di balik pasal undang-undang. Diktator konstitusional merupakan perselingkuhan antara politik dan hukum. Hukum seringkali dijadikan sebagai alat untuk memukul pihak-pihak tertentu yang dianggap mengancam kekuasaan.

“Jika RKUHP ini disahkan, norma yang krusial bagi mahasiswa misalnya terkait unjuk rasa, pawai, dan demonstrasi,” kata pengacara tersebut. Ia mengurai lebih lanjut, “Barang siapa yang melakukan aktivitas di atas tetapi tidak memiliki izin maka dia dapat dipidana dengan kurungan penjara kurang lebih 6 bulan. Dengan pasal ini, mahasiswa tidak dapat menggelar unjuk rasa tiba-tiba karena harus izin dulu. Artinya, ada ganjalan administratif yang menghambat mahasiswa menyampaikan gagasan dan kritiknya di muka publik.”

“Di media sosial pun, kritik dihambat oleh mesin algoritma,” ujar Aab. Algoritma sebutnya dirancang oleh manusia dan faktanya dipengaruhi oleh kebijakan. “Jadi, kita harus mulai memahami bahwa kebijakan mempunyai peran dalam mengendalikan teknologi. Contohnya jika kita posting foto-foto tertentu di media sosial maka bisa kena blok. Ini dikarenakan desain algoritma yang dikendalikan oleh kebijakan. Kita menjadi sangat susah untuk mengoreksi penguasa, apalagi dengan adanya RKUHP, “ urainya.

Pasal lain RKUHP yang banyak dikritisi adalah penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara. Menurut Hersubeno, pejabat negara sebenarnya tidak perlu dilindungi lagi, justru yang butuh perlindungan itu rakyat. Pejabat negara sudah mendapat banyak privilege dan mandat dari rakyat. Dengan demikian, seharusnya rakyat mempunyai hak mengkritik. Menurutrnya yang tidak boleh itu mengkritik pribadi. Kalau mengkritik kebijakan itu harus terus dilakukan. “Akan tetapi, pasal-pasal RKUHP ini sekarang menjadi persoalan,, “ ungkapnya.

“RKUHP ini berpotensi membungkam kritik yang disampaikan oleh publik. Oleh karena itu, semestinya kita pantau terus RKUHP. Jangan sampai kecolongan, jangan-jangan tengah malam tiba-tiba sudah diketok,” pungkas Chandra. (*)

Sumber : https://ipb.ac.id/news/index/2022/07/forum-mahasiswa-pascasarjana-ipb-university-kritisi-rancangan-kitab-undang-undang-hukum-pidana/0ce6624ccba0d48ed5862244f3f771be

× Butuh bantuan?
Skip to content