0251- 8622642 ex 105 ppid@apps.ipb.ac.id

Eutrofikasi seringkali menjadi masalah lingkungan utama yang mengkhawatirkan. Baik di perairan laut dan pesisir maupun perairan darat di kota-kota besar. Prof Ario Damar, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University mengatakan eutrofikasi terjadi akibat adanya masukan bahan organik berlebih ke badan air. Istilah awamnya adalah pencemaran bahan organik berupa nutrien di sebuah perairan.

Menurutnya, bahan organik ini nantinya akan terurai menjadi nutrien oleh bakteri yang diperlukan oleh fitoplankton sebagai makanan. Bahan organik ini dapat berupa limbah rumah tangga yang terlimpas ke badan air. Masalah penanganan sampah organik yang kurang tertata mengakibatkan limbah ini mengalir ke sungai hingga ke perairan pesisir laut.

Konsekuensinya, lanjutnya, bahan organik yang diurai bakteri di badan air mengakibatkan bau busuk akibat pembusukan. Proses pembusukan menghabiskan oksigen dan dapat mengakibatkan habisnya oksigen terlarut di badan air. Padahal, oksigen terlarut sangat dibutuhkan oleh biota air untuk bernapas dan dibutuhkan dalam berbagai proses kimia dan biologi air.

“Bila terjadi pencemaran bahan organik yang tinggi, kemungkinan kehabisan oksigen, maka makhluk hidup dalam air tidak bisa bernapas. Kerugian keduanya adalah pembusukan bahan organik menjadi nutrien dapat memperkaya perairan tersebut. Akibatnya terjadi blooming atau ledakan populasi fitoplankton atau tanaman air,” terangnya dalam webinar Estuary Speaks Seri ke-14 “Eutrophication in Tropical Coastal Ecosystem: Cause, Consequences, and Mitigation” yang diadakan oleh FPIK IPB University.

Ia menambahkan, jika sudah terjadi blooming, dampak negatifnya akan panjang. Air laut akan tercemar oleh fitoplankton dan menjadi berwarna merah atau hijau selama 2-3 minggu. Populasi fitoplankton ini akan menyebabkan kematian massal biota laut karena akan menghabiskan oksigen terlarut. Terlebih lagi bila fitoplanktonnya beracun, maka menyebabkan kematian ikan dan biota laut lainnya. Dan bila biota laut tersebut termakan oleh manusia akan menyebabkan masalah kesehatan seperti diare.

“Blooming itu menjadi penting karena Indonesia memiliki perairan tropis. Dalam satu hari disinari oleh matahari hingga 12 jam dari bulan Januari ke Desember. Artinya respon perairan terhadap masukan bahan organik atau eutrofikasi menjadi sangat reaktif,” tambahnya.

Menurutnya, eutrofikasi ini terjadi bukan hanya di wilayah pesisir tapi di perairan tawar. Di perairan darat  terutama pada badan air yang tergenang, eutrofikasi biasa dicirikan dengan tumbuh suburnya eceng gondok. Manusia tinggal menyikapi terjadinya eutrofikasi ini. Tumbuhnya eceng gondok sebenarnya dapat dipandang sebagai peluang untuk mendulang uang. Eceng gondok dapat dipanen dijadikan bahan-bahan kerajinan tangan.

Ia menyebutkan penanganan kuratif cenderung sulit, sehingga mitigasi sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya eutrofikasi. Pencegahannya yakni dengan mengurangi masukan bahan organik dari darat. Sumber bahan organik ditelusuri dan dibangun instalasi pengelolaan air limbah komunal. Biasanya, sumber bahan organik paling besar adalah dari limbah pemukiman penduduk.

“Di kota-kota besar perlu dibangun instalasi pengelolaan air limbah komunal yang terkoneksi dengan setiap rumah sebelum dibuang ke sungai. Bahan organik yang dipisah di instalasi pengolahan biasanya diendapkan menjadi sedimen dan dapat dipakai untuk pupuk yang dimanfaatkan bidang pertanian,” jelasnya.

Faktor lain, katanya, yang mempengaruhi besar dan rendahnya kejadian eutrofikasi selain jumlah bahan organik dan cahaya adalah tingkat ketenangan kolom air atau oseanografi. Peluang kejadian eutrofikasi ini dapat diprediksi gejalanya dengan menganalisis musim tenang air. Pada musim tenang, kejadian blooming cenderung tinggi sehingga tindakan mitigasi dapat segera dilakukan. (MW/Zul)

Sumber : https://ipb.ac.id/news/index/2022/07/fakta-fakta-seputar-eutrofikasi-penyebab-blooming-fitoplankton-dan-alga-apa-saja/160761957fb48fd3fa6b26717f24e73b

× Butuh bantuan?
Skip to content