Dr Yudha Heryawan Asnawi: Antara Pertanian Berkelanjutan dan Local Knowledge Bisa Saling Menguatkan
Ekonomi hijau disebut sebagai salah satu upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan. Namun, istilah pertanian berkelanjutan dengan ekonomi hijau ini terkadang masih membingungkan. Terutama bila melibatkan budaya dan masyarakat adat.
Dr Yudha Heryawan Asnawi, Dosen Sekolah Bisnis IPB University mengungkapkan bahwa sebenarnya ekonomi hijau sudah diterapkan oleh masyarakat adat, contohnya Suku Badui di Banten selama lebih dari 700 tahun. Suku Badui tidak pernah kelaparan dan mampu mengelola huma atau sawah ribuan hektar dengan baik tanpa adanya teknologi ‘modern’.
Ia menilai bahwa mekanisme surplus dan defisit sebenarnya sudah dikelola oleh mekanisme alam. “Pengalaman masyarakat adat dalam mengelola alam seharusnya menjadi renungan dalam mengajarkan dunia bahwa kunci dari ekonomi hijau adalah ketidakserakahan dan keseimbangan alam yang terjaga,” ujarnya dalam Webinar Propaktani “Ekonomi Hijau untuk Sistem Pangan Berkelanjutan”, yang digelar oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian RI, 14 Juli 2022.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia harus berhati-hati menangkap pandangan dan istilah pertanian berkelanjutan yang dikeluarkan oleh kelembagaan luar negeri. Pertanian berkelanjutan seringkali dikaitkan dengan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan. Dari kacamata sosiolog, menurutnya teknologi adalah kendaraan dari kapitalisme. “Sesungguhnya secara tidak langsung, Indonesia turut didorong kelembagaan tersebut menjadi pasar mereka sehingga menggerus kelembagaan yang sudah dimiliki, ” ungkapnya.
Di samping itu, lanjutnya, Indonesia dipaksa untuk menjadi sumber pangan dunia ketika sesungguhnya kelembagaan tersebut melakukan aspek-aspek lain. “Saya melihat ada kuasa pengetahuan dan kuasa kepentingan dunia yang dipaksakan kepada kita. Istilah sustainable agriculture development tidak melulu menjadi sesuatu yang netral tapi ada misi yang mereka pegang,” katanya.
Menurutnya, pertanian berkelanjutan seharusnya memiliki ukuran yang lebih bisa diterima, adil dan jelas. Kriterianya tidak memaksakan setiap negara untuk mengadopsi teknologi yang dianggap lebih modern dan canggih.
“Teknologi pertanian berkelanjutan seharusnya tidak bisa diseragamkan secara global. Setiap negara pasti memiliki local knowledge yang melibatkan masyarakat adat dan sudah memiliki sejarah panjang. Teknologi yang telah dikembangkan oleh masyarakat ratusan tahun sebenarnya sudah dapat mendukung pertanian yang berkelanjutan,” ujarnya.
Ia menambahkan, konsep modern bukan semata-mata menggunakan teknologi canggih, namun makna modern bisa merespon kebutuhan manusia. Boleh jadi teknologi pertanian lokal yang dianggap ‘usang’ sebenarnya memang modern dan lebih efektif. Teknologi tidak perlu didikotomikan, teknologi sesungguhnya bisa dimaknai modern secara berbeda di setiap daerah.
“Teknologi pada masanya dan filosofisnya (bersifat) sepanjang masa, apa yang sustainable apa yang cocok dalam konteks waktu itulah teknologi. Jadi kita harus melihat teknologi dengan perkembangan masyarakatnya,” tambahnya.
Menurutnya, setiap komponen teknologi pertanian yang telah dikembangkan masyarakat lokal memiliki nilai rohani dan filosofi tinggi, tidak sekedar fungsional dan mekanistik. Teknologi ini digenerasikan turun menurun dan ternyata berdaya tahan lama serta lebih berkelanjutan.
“Untuk menguatkan keberjalinan local knowledge dengan pertanian yang berkelanjutan tentu terdapat beberapa instrumen yang harus dimiiliki. Di antaranya harus memiliki ideologi untuk membangun kesadaran dan kemandirian, politik yang berpihak pada desa, ekonomi yang berpihak kepada masyarakat desa, pendidikan yang mendorong kemandirian dan inovasi beridkari, dan praktik melalui insentif yang jelas,” tandasnya. (MW/Zul)
Sumber : https://www.ipb.ac.id/news/index/2022/07/dr-yudha-heryawan-asnawi-antara-pertanian-berkelanjutan-dan-local-knowledge-bisa-saling-menguatkan/ee6a86a77191277a2308e8e48bd57d52