Dosen IPB University Kaji Arah Kebijakan Pangan Nasional Pasca Didirikannya Badan Pangan Nasional
Kenaikan harga beberapa komoditas pangan di Indonesia selalu menjadi polemik terutama menjelang bulan puasa. Penataan dari hulu hingga hilir dibutuhkan sehingga terbentuklah Badan Pangan Nasional (BPN). Lembaga ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan pangan dan mewujudkan ketahanan pangan nasional. Untuk mengkaji lebih dalam, Direktorat Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis (DPIS) IPB University menyelenggarakan The 35th Strategic Talks dengan topik “Arah Kebijakan Pangan Nasional Pasca Terbentuknya Badan Pangan Nasional” secara daring, (07/04).
Dr Sam Herodian, Dosen IPB University dari Fakultas Teknologi Pertanian mengungkapkan permasalahan pangan di Indonesia adalah pasokan pangan yang tidak merata sepanjang waktu akibat musim. Selain itu, kapasitas pelaku pangan di hulu masih terbatas dalam penggunaan teknologi on farm dan off farm.
“Faktor lainnya adalah permasalahan harmonisasi periode impor dengan panen raya. Dan adanya variasi geografis yang belum mendukung jalur distribusi yang memadai. Sehingga menyebabkan terjadinya disparitas harga antara wilayah,” ujarnya.
Dengan alasan-alasan itu, lanjutnya, pemerintah menyadari pentingnya wadah sinkronisasi yang harmonis dan dapat dinikmati seluruh komponen bangsa. Upaya ini dilakukan dengan harmonisasi kebijakan melalui pengalihan kewenangan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Sosial.
Menurutnya, untuk urusan sosial masih perlu diatur secara khusus. Ia menilai dengan didirikannya BPN permasalahan pangan nasional mestinya bisa terselesaikan dengan baik.
Ia menyebutkan negara-negara di ASEAN umumnya memiliki sistem tatakelola yang terpisah antara regulator dan operator. “ASEAN sudah sepakat bahwa semestinya antara regulator dan operator harus dipisahkan. Bila disatukan ada interest yang dinilai dapat mengkhawatirkan,” jelas sosok yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Sumberdaya Hayati dan Kemandirian Pangan, Persatuan Insinyur Indonesia (PII) ini.
Hal menarik yang ia singgung adalah perhitungan Cadangan Pangan Pokok (CPP) karena jumlahnya luar biasa besar dan melibatkan dana yang cukup besar. Pentingnya menghitung nilai CPP ini dikarenakan adanya mandat undang-undang pangan serta pencapaian ketahanan pangan dan gizi serta pandemi COVID-19. Ditambah lagi dengan masih adanya variabilitas harga antar waktu dan wilayah serta masalah volatile food. Hingga adanya pencapaian sustainable development goals (SDGs), variabilitas iklim, psikologis pasar dan stabilitas keamanan negara.
“Faktor penentu CPP adalah stok akhir tahun atau awal tahun berikutnya. Yang terpenting (perhitungannya) berdasarkan pengalaman Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) selama ini sehingga bisa dijadikan patokan untuk ke depan,” tambahnya.
Ia turut memberikan beberapa poin rekomendasi. Pertama, perlunya peraturan setingkat Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatur tentang penanganan pangan yang masih ditangani oleh BPN. Bulog sebagai operator BPN perlu menyediakan cadangan fisik dan cadangan anggaran untuk sembilan pangan pokok. Dikarenakan beberapa pangan pokok ini daya simpannya kurang awet dan pelaksanaannya harus seksama melalui kerjasama dengan produsen.
“Bila hal ini direncanakan dengan baik, mestinya hal-hal berulang dan permasalahan harga pada saat ramadhan dan seterusnya yang melonjak sangat tinggi ini bisa kita atasi,” ujarnya.
Ia menambahkan pengelolaan CPP dapat dilakukan secara fleksibel dengan mekanisme dynamic stock untuk menghindari pemborosan. Metode FIFO (First In First Out) untuk running stock dapat diimplementasikan. Serta dibuatkan captive market agar produk dapat berputar dengan prinsip FIFO. “Dengan catatan Bulog harus dapat menjamin kualitasnya,” tandasnya. (MW/Zul)
Sumber : https://ipb.ac.id/news/index/2022/04/dosen-ipb-university-kaji-arah-kebijakan-pangan-nasional-pasca-didirikannya-badan-pangan-nasional/a1fe6ef0919d9cc8299466a2128dd059