Alumnus IPB University Berhasil Kembangkan Kedelai Non-GMO Menjadi Tempe Menyehatkan
Pasar kedelai Indonesia secara umum masih didominasi oleh kedelai GMO (Genetically Modified Organism) yang merupakan hasil rekayasa genetika. Di tengah tantangan tersebut, Wakid Mutowal, Alumnus Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB University memulai bisnis tempenya dengan menyajikan tempe berbahan dasar lokal (non GMO).
Wakid memaparkan hal-hal yang memotivasinya untuk memproduksi tempe berbahan dasar kedelai lokal. Salah satunya adalah manfaat yang dihasilkan.
“Beberapa pendapat mengatakan bahwa kedelai GMO akan menimbulkan dampak jangka panjang bagi yang mengkonsumsinya. Meskipun sebagian pendapat juga mengatakan tidak berdampak. Selain itu, kedelai lokal memiliki kelebihan lebih fresh daripada kedelai impor, karena dipanen langsung dari petani dalam kondisi segar. Sedangkan kedelai impor ada proses pascapanen di negara asalnya dan waktu pengiriman ke Indonesia juga lama,” jelas Wakid, pendiri Hidayat Jati Research Center (Produsen Tempe Sehat).
Berdasarkan hal tersebut, Wakid berkomitmen dan konsisten untuk terus memproduksi tempe dengan kedelai lokal. “Kami sudah memegang komitmen dan konsistensi tersebut selama lebih dari tujuh tahun semenjak usaha produksi tempe kami berdiri. Padahal pada waktu itu, harga kedelai lokal yang kami beli dari petani lebih mahal 2000 rupiah per kilogram. Artinya, ketika setiap hari kami produksi tempe dengan kedelai 100 kilogram, kami kehilangan laba sebesar 200.000 rupiah per hari” ujarnya.
Berbagai tantangan tidak luput dihadapi oleh Wakid dalam menjalankan usahanya. Seperti sulitnya mendapatkan bahan baku kedelai lokal yang bersih, seragam dan kering. Keberadaan stok juga tidak kontinyu dan harga tempe yang lebih mahal. Hal tersebut tidak menyurutkan Wakid dalam mencari solusi atas tantangan yang dihadapi sehingga usahanya dapat terus berjalan.
“Tantangannya adalah pada harga tempe kami yang lebih mahal sekitar 10-20 persen dari tempe yang ada di pasaran. Hal ini terjadi karena kami memproduksi tempe dengan membuang kulit ari dan mata tunas kedelai yang menjadi sumber kolesterol dan bahan-bahan lain yang kurang bagus untuk kesehatan. Sehingga 1 kilogram kedelai hanya menjadi 1,6 kilogram tempe. Kalau kulit ari dan mata tunas tidak dibuang, maka 1 kilogram kedelai mampu menghasilkan 2,2 kilogram tempe. Karena hal inilah tempe kami lebih mahal,” ujarnya.
Untuk itu, Wakid menerapkan strategi dengan cara gencar melakukan promosi tempe sehat dan menyasar konsumen-konsumen tertentu seperti ASN (Aparatur Sipil Negara), pegawai kesehatan, dan guru. (SHM/Zul)
Sumber : https://www.ipb.ac.id/news/index/2022/04/alumnus-ipb-university-berhasil-kembangkan-kedelai-non-gmo-menjadi-tempe-menyehatkan/1859b569712e1d32a191ddbcf0f9b10c