Akademisi IPB University Sebut Pengendalian Hayati Menjadi Kunci Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca di Sektor Pertanian

Sektor pertanian menjadi salah satu sektor penyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar di Indonesia. Upaya mitigasi untuk menekan angka emisi ini semakin digalakkan setiap tahunnya. Namun, petani juga memiliki peranan penting untuk menentukan keberhasilannya. Terutama dalam melakukan aktivitas pertanian yang lebih ramah lingkungan.
Beata Ratnawati MSi, dosen IPB University dari Program Studi Teknik dan Manajemen Lingkungan Sekolah Vokasi menyebutkan pertanian sangat bergantung pada iklim yang baik. Emisi GRK dari sektor pertanian berdampak negatif pada perubahan iklim, sehingga efeknya turut berbalik pada petani. Musim kemarau dan paceklik yang mulai terasa disinyalir menjadi salah satu tanda perubahan iklim ini.
“Berdasarkan data terkait gas emisi rumah kaca pertanian di tahun 2019, emisi GRK yang dihasilkan sektor pertanian sebesar enam persen dibanding sektor lainnya. Namun aktivitas ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya,” ujarnya dalam webinar Propaktani berjudul “Pengendalian Hayati dalam Mendukung Kesehatan Tanah dan Mengurangi Dampak Efek Rumah Kaca (GRK) Melalui Pemberdayaan Petani” yang digelar oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian RI, (17/05).
Bahkan, imbuhnya, emisi GRK mengalami penurunan setiap tahunnya. Hal ini didukung oleh adanya mitigasi terutama terkait penggunaan pupuk dan kebijakan yang mengatur gas rumah kaca. Sumber agregat dan sumber emisi non CO2 pada pertanian umumnya berasal dari aplikasi pupuk urea, aplikasi kapur pertanian, emisi N2O langsung dan tidak langsung dari tanah, pembakaran biomassa, budidaya padi sawah dan pestisida.
“Sehingga penggunaan pupuk terutama pupuk hayati memiliki peranan yang sangat besar karena sebenarnya GRK yang dihasilkan di pertanian sebagian besar berasal dari pupuk,” terangnya. Ia menambahkan, persentase penyumbang gas rumah kaca di sub sektor tanaman pangan didominasi oleh penggunaan pupuk hingga 94 persen. Terbesar kedua yakni penggunaan pestisida hingga empat persen dan transportasi hasil panen sebesar satu persen.
“Penerapan konsep pengendali hayati tanaman akan menekan penggunaan pestisida kimia dalam mengendalikan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Upaya ini sejalan dengan Undang Undang No 22 Tahun 2019 tentang sistem budidaya pertanian berkelanjutan,” jelasnya.
Ia menjelaskan, perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengelolaan hama terpadu serta penanganan dampak perubahan iklim. “Menggunakan pestisida hayati menjadi salah satu langkah kita untuk menangani dampak perubahan iklim dan sebagai salah satu cara menangani emisi GRK dari sektor pertanian,” tambahnya.
Menurutnya, pengelolaan tanah dengan konsep hayati akan menghasilkan tanah yang lebih sehat dan emisi GRK dapat ditekan. Kementerian Pertanian juga telah memasukkan pemanfaatan pupuk organik dan biopestisida dalam kegiatan inti pengurangan emisi. “Upaya ini juga terangkum dalam aksi mitigasi yang termuat dalam Perpres No 61 tahun 2011. Sedangkan alternatif pengelolaannya yakni dengan meningkatkan unsur hara dan pengendalian OPT pemakaian pupuk hayati dan pengendalian hayati,” imbuhnya.
Ia menyebutkan ada tiga pilar yang menjadi acuan untuk kegiatan mengendalikan OPT dengan agen hayati. Yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Nilai ekologi dilakukan dengan pengendalian OPT serta aktivitas pertanian yang ramah lingkungan, di sisi lain nilai ekonomi dan kesejahteraan petani ikut meningkat. (MW/Zul)
Sumber : https://www.ipb.ac.id/news/index/2022/05/akademisi-ipb-university-sebut-pengendalian-hayati-menjadi-kunci-penurunan-emisi-gas-rumah-kaca-di-sektor-pertanian/425be95312701e809166a09e4355f581